Rabu, 08 Juni 2011

makalah Tafsir Tarbawi I semester IV

METODE-METODE TAFSIR: TAHLILIY, IJMALIY, MUQARAN, DAN MAWDHU’IY





Disusun Oleh:
Feni Anita
Ferina Valentin
Fitri Deviana
Dosen Pembimbing:
                                                                  Alwizar, M. Ag
SLTP/SLTA IV A
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2011

KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan dan keikhlasan penuh, pemakalh mengucapkan al-hamdu lilahi rabbi’alamin, segala puji dan puja adalh milik Allah, Pencipta alam semesta, berkat hidayah dan pertolongan-Nya makalah Makalah Tafsir Tarbawi I  ini dapat pemakalah selesaikan. Salawat serta asalam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah memberikan segala persoalan kehidupan manusia baik lewat Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Makalah Studi Al-Quran II ini berjudul kan Metode-Metode Penafsiran Al-Qur’an.
Pemakalah yakin bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik secara metodologinya maupun dalam pemaparan kata-kata dan isinya. Untuk itu. Kritik yang membangun dari pembaca selalu pemakalah harapkan. Segala kekeliruan dan kesalahan dalam makalah ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemakalah.
Semoga Allah SWT., meridhai usaha pemakalah. Amin Ya Robbal ‘Alamin.






                                                                                                Pekanbaru, Maret 2011
                                                                                                            Pemakalah



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................................
BAB I  PENDAHULUAN...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
a.       Metode Tahlili......................................................................................................
b.      Metode Ijmali .....................................................................................................
c.       Metode al-Muqaran ............................................................................................
d.      Metode Maudhu’i ...............................................................................................
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................











BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Al-Qur’an al-Karim itu laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna ditelan masa, sehingga lairlah bermacam-macam tafsir dengsn metode yang aneka ragam pula. Kitab-kitab tafsir yang memenuhi perpustakaan merupakan bukti nyata yang menunjukkan betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan Kitab Suci al-Qur’an al-Karim tersebut.
Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di bidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masin g tokoh penafsir. Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah Metode Tahliliy, Metode Ijamliy, Metode Muqaran, dan Metode Mawdhu’iy.














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Metode Tahlili (Metode Analitis)
Tahlili berasal dari bahasa Arab yaitu hallala, yuhallilu, tahlil yang berarti mengurai atau menganalisis.[1]
Metode tahlili berati menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti aspek menyingkap seluruh maksudnya. Mulai dari uraian-uraian makna kosa kata, makna kalimat,maksud setiap ungkapan kaitan pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antara pemisah itu (wajh Al-Munasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat, dan surat per surat.[2]
Muhammad Baqir Al-shadr menyebut tafsir metode tahlili ini dengan tafsir tajz’i yang secara harfiah berarti tafsir yang menguraikan berdasar pada bagian-bagian atau tafsir persial.[3]
Dibandingkan dengan metode tafsir lainnya, metode tahlili atautajz’I adalah metode yang paling tua. Tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi Muhammad SAW. Pada awalnya hanya terdiri dari tefsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosa katanya. Dalam perjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi Al-Qur’an. Karena itulah pada akhir abd ke 3 dan awal abad ke 4 H (ke 10 M) ahli-ahli tafsir seperti Ibn Majah dan  At-Thabari mengkaji keseluruhan isi Al-Qur’an.dalam melakukan penafsiran, mufasir (penafsir) memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, mufasir biasanya melakukan hal-hala berikut :
1.      Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain;
2.      Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul);
3.      Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab;
4.      Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya;
5.      Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, dan I’jaznya, jika di anggap perlu;
6.      Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum;
7.      Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat yang bersangkutan. Sebagai sandarannya, mufasir mengambil manfaat dari ayat-ayat lainnya, Hadits Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, disamping ijtihad mufasir sendiri. Apabila tefsir ini bercorak al-Tafsir al-Ilmi (penafsiran dengan ilmu pengetahuan), atau al-Tafsir al-Adani al-Ijtima’. Mufasir biasanya mengutip pendapat para ilmuwan sebelumnya dan teori-teori ilmiah modern.[4]
Kelebihan metode ini adalah adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melaui usaha penafsiran terhadap kosa kata ayat, syair-syair kuno, dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Analisis ayat dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan, dan kecenderungan mufasir.[5]
Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode tahliliy ini ndapat dibedakan kepada :
a.      Al-Tafsir bi al-ma’tsur
Al-tafsir bi al-ma’tsur secara harfiah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sabagai sumber pokoknya. Oleh karena itu, tefsir ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-riwayah atau al-tafsir bi al-manqul (tafsir dengan menggunakan pengutipan riwayat). Penafsiran dalam corak ini dapat dibagi menjadi empat, yaitu :
1.      Penafsiran Al-Qur’an dengan ayat
2.      Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits Nabi SAW
3.      Penafsiran dengan pendapat para sahabat
4.      Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat para tabi’i
b.      Al-Tafsir bi al-ra’yi
Al-tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan rasio) adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir ini dinamakan juga dengan al-tafsir bi al-ijtihad atau al-tafsir al-ijtihad yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad.
Adapun mufasir metode ini harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Memiliki pengetahuan tata bahasa arab dan segala seluk beluknya,
2.      Menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an,
3.      Menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu ala-Qur’an seperti hadits dan ushul fiqh,
4.      Berakidah yang benar,
5.      Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam, dan
6.      Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Disamping syarat-syarat itu, Ali Hasan al-Arid menyebutkan enam hal yang harus dihindari mufasir yang ingin menggunakan corak ini, yaitu :
1.      Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah SWT pada suatu ayat, sementara ia sendiri tidak megetahui syarat untuk itu,
2.      Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah SWT,
3.      Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an karena dorongan hawa nafsu dan sikap ihtisan (penetapan hukum suatu perkara tidak berdasarkan alasan hukum yang tepat menurut nas),
4.      Menafsirkan ayat-ayat menurut makna yang tidak dikandungnya,
5.      Menafsirkan ayat untuk mendukung aliran atau mazhab sesat tertentu, dengan cara menjadikan paham aliran atau mazhab bersangkutan sebagai dasar dan penafsirannya mengikuti paham aliran atau mazhab tersebut, dan
6.      Menafsirkan ayat-ayat disertai dengan kepastian bahwa makna itulah yang dikehendaki Allah tanpa dukungan dalil-dalil. Dengan kata lain, memutlakkan oendapatnya sendiri dan menyalahkan pendapat lain.
c.       Al-Tafsir al-fiqhi
Al-tafsir al-fiqh adalah tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian kepada fiqh (hukum Islam). Oleh sebab itu, para mufasir corak ini biasanya adalah ahli fiqh yang berupaya memberikan penafsiran ayat-ayat AlQur’an dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum Islam.
Al-tafsir al-fiqh ini tersebar luas di celah-celah halaman bebbagai kitab fiqh yang dikarang oleh tokoh berbagai mazhab. Terutama setelah masa kodifikasi, banyak ulama menulis karya tafsir semacam ini sesuai dengan pandangan mazhab mereka.
Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak fiqh ini adalah :[6]
1.      Al-Jash-shash  ﺃﺤﻜﺎﻢﺍﻠﻘﺮﺁﻦ               
2.      Ibn al-Arabi ﺃﺤﻜﺎﻢﺍﻠﻘﺮﺁﻦ          s       
3.      Al-Qurthuby ﺍﻠﺠﺎﻤﻊﻷﺤﻜﺎﺍﻠﻘﺮﺁﻦ 
d.      Al-Tafsir al-shufi
Al-tafsir al-shufi adalah tafsir yang ditulis para sufi.
e.       Al-Tafsir al-falsafi
Al-tafsir al-falsafi adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang menerima pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang berkembang didunia Islam seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang menolak filsafat itu.
f.        Al-Tafsir al-ilmi
Al-tafsir al-ilmi adalah penafsiran Al-Qur’an dalam hubungan dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan menggunakan corak ini terutama adalah ayat-ayat al-kawniyyah (ayat-ayat yang berkenaan dengan kejadian alam).
g.      A-Tafsir al-adabi al-ijtima’i
Al-tafsir al-adabi al-ijtima’I adalah suatau cabang tafsir yang baru muncul pada masa modern. Menurut Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-tafsir al-adabi al-ijtima’I adalah corak penafsiran yamg menjelaskan ayat-ayat AL-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan yang pokok diturunkan Al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Dalam corak tafsir ini, mufasir tidak berpanjang lebar dengan pembahasan pengertian bahasa yang rumit. Bagi mereka yang penting adalah bagaimana Al-Qur’an sampai kepada pembaca. Dalam penafsirannya, teks-teks Al-Qur’an dikaitkan dengam realita kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, sehingga dapat berfungsi dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian, mufasir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat Manusia pada umumnya, dan kemudian mencarikan jalan keluarnya berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, sehingga dapat dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan perkembangan zaman dan manusia.
Muhammad Abduh merupakan tokoh pembaharu terkenal asal mesir yang dipandang sebagai pelopor kebangkitan tafsir corak ini. Kitab tafsirnya adalah al-manan yang ditulisnya bersama teman dan muridnya yaitu Muhammad Rasyid Ridha.[7]
B.     Metode Ijmali (Metode Global)
Secara harfiahkata ijmali berasal dari ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak terperinci.[8]
Metode ijmali adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Metode ijmali sebagaimana halnya metode tahlili, dilakukan terhadap ayat per ayat, surat per surat yang sesuai dengan urutanna dalam mushaf sehingga tampak keterkaitan antara makan satu ayat dengan ayat lainnya dan antara satu surat dengan surat lainnya. Dalam menyajikan makna-makna ini mufasir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari Al-Qur’an  itu sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.
Dengan demikian, penafsir metode ini mengikuti cara dan susunan al-Qur’an yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan lainnya.
Dalam metode ini mufasir menggunakan lafal-lafal bahasa yang mirip, bahkan sama dengan lafal Al-Qur’an, sehingga pembaca merasakan bahwa uraian yang disajikan mufasir tidak jauh dari bahasa dan lafal-lafal Al-Qur’an.di samping itu, dengan gaya demikian sangat terkesan bahwa Al-Qur’an itu sendiri yang berbicara, membuat makna-makna dari maksud ayat menjadi jelas, sehingga lafal-lafal       Al-Qur’an itu menjadi jelas dan mudah dipahami.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode ini, mufasir juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan asbab an-nuzul atau peristiwa yang melatar  belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya.
Adapun kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah :
1.      Tafsir Al-Qur’an al-Karim (tafsir Al-Qur’an yang mulia) karya Muhammad Farid Wadji, seorang mufasir kontemporer asal Mesir,
2.      At-Tafsir al-waith (tafsir pertengahan) karya Tun Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah (lembaga penelitian Islam),
3.      Tafsir al-jalalayan karya Jalaluddin al-mahalli,
4.      Shatwah al-bayan lil ma’ani al-Qur’an karya Husnain Muhammad makhlut, dan
5.      At-tafsir al-wadhih karya Muhammad Mahmud Hijazi.

C.    Metode Al-Muqaran (komparatif)
Secara harfiah, muqaran berarti perbandingan. Secara istilah muqaram berarti suatu metode atau teknik menafsirka al-Qur’an dengan cara memperbandingkan pendapat seorang mufasir dengan mufasir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat. Dalam perbandingan ini, mufasir menjelaskan kecenderungan masing-masing mufasir dan megungkapkan sisi-sisi subjektivitas mereka, yang terganbar pada legitimasi terhadap mazhab yang dianutnya. Sealin itu, tafsir muqaran juga memperbandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antara ayat dengan hadis. Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau dengan hadis yang memperbincangkan persoalan yang sama.
Syarat-syarat untuk menjadi seorang mufasir al-Muqaran (komparatif) :
1.      Penguasaan ilmu Bahasa Arab,
2.      Mengetahui asbab al-nuzul,
3.      Mengetahui qiraat (bacaan) al-Qur’an, dan
4.      Mengetahui biografi Nabi SAW.

D.    Metode Mawdhu’i (Metode Tematik)
Metode mawdhu’i (tematik) ialah menafsirkan ayat al-Qur’an tidak berdasarkan atas urutan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji.
Menurut Quraish Shihab metode mwudhu’i memiliki dua pengertian :
1.      Penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuan secara umum dan merupakan tema sentral. Serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beragam dalam surah tersebut antara yang satu dengan tang lainnya. Sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan